“Apa yang salah dengan Volunter” Begitu judul tulisan Butet Manurung yang di muat di harian Kompas Hari ini.
Pada tulisannya, Pendiri dan Direktur Sokola Literasi dan Advokasi untuk Masyarakat Adat Indonesia itu menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang kerap ia dapatkan selama 15 tahun pengalamannya sebagai volunteer.
“Kamu perempuan, lahir dan besar di Jakarta, Sekolah Tinggi, kenapa mau bekerja keluar masuk hutan hanya untuk orang-orang seperti mereka?”
“Memangnya di kota tidak bisa berarti?”
“Di hutan kan tidak ada mal, sinyal telepon, teve, internet, bakso?”
“Hobi ya hobi, pekerjaan itu pekerjaan, tidak bisa disatukan!”
“Tidak takut binatang buas, kena malaria, diperkosa, atau bertemu setan?”
Butet lalu menuliskan dengan lugas:
“Bekerja di kota, dimana banyak orang berkompetisi memperebutkan sedikit kesempatan, yang tak jarang hanya demi kesenangan dan memuaskan panca indra semata, sampai-sampai harus sikut kanan sikut kiri, bagi saya lebih menakutkan dibandingkan kemungkinan ketemu binatang buas di hutan…”
Ia juga menulis:
“Sulit digambarkan perasaan Saya ketika mendengar kata pertama yang berhasil dibaca oleh murid Saya, lalu di lain waktu melihatnya membantu orangtuanya di pasar menghitung hasul penjualan produk hutannya. Bantuan kecil kita bisa jadi besar maknanya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan…”
Tulisannya kemudian dilanjutkan dengan banyak sekali kalimat menarik tentang kekuatan tujuan hidup, kebermaknaan, dan keterlibatan.
Saya terharu membacanya, bukan sekedar karena mengagumi sosok wanita ini, namun juga karena Saya jadi teringat lagi akan perenungan Saya mengenai makna pekerjaan beberapa tahun yang lalu.
“Jika Saya bekerja hanya untuk uang, posisi, jabatan, aktualisasi diri, alangkah ceteknya Saya, namun ingatlah dan sadarilah bahwa apa yang saya lakukan dapat bermakna dan bermanfaat bagi banyak orang.”
Di awal karir Saya, tugas Saya cuma menelpon orang, menjadwalkan mereka untuk datang Psikotes di konsultan tempat Saya bekerja. Bagi Saya itu tugas kecil, tapi terbayang bagaimana perasaan beberapa orang dari mereka, ketika mereka berkata “Saya dapat panggilan kerja (walau itu baru panggilan Psikotesnya saja)”
Berikutnya Saya mulai benar-benar terjun sebagai tester Psikotes, dan lalu interviewer. Suka sekali rasanya bertemu banyak orang, ‘ngobrol’ dengan mereka, dan kemudian memberikan rekomendasi ke user mengenai profil dan penempatan mereka.
Salah satu kepuasan terbesar Saya adalah melihat orang-orang yang Saya recruit berhasil dan menikmati pekerjaan mereka.
Sebagaimana Butet Manurung juga menulis:
“Kekayaan Batin akan senantiasa membuat kita bergairah. Namun, tentu gairah akan berlipat ganda kalau kita bisa memberi manfaat bagi orang lain.”
Manusia adalah makhluk social, secara kodrat setiap manusia membutuhkan orang lain, tapi bagi saya, itu juga berarti setiap manusia dibutuhkan orang lain. Saya percaya, tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tercipta hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak memiliki kemampuan khusus yang dapat berguna bagi orang lain.
Jadi renungkanlah jika Anda mulai tidak bergairah dengan pekerjaan Anda, jangan melulu kaitkan dengan uang, posisi atau jabatan yang kurang memuaskan. Bisa jadi menurunnya kegairahan Anda, lebih dikarenakan kurangnya kebermaknaan hidup yang Anda temui dalam pekerjaan Anda. Anda merasa tidak enjoy karena apa yang Anda kerjakan tidak mememuhi hakikat kodrati Anda sebagai manusia.
Menjawab pertanyaan Butet di judul tulisannya, Apa yang salah dengan volunteer? Bagi Saya tidak ada yang salah dengan volunteer, tapi tidak ada yang salah juga dengan menjadi karyawan swasta, pegawai negri, atau wirausahawan. Yang salah adalah apabila kita mengerjakan sesuatu, namun melupakan kebermaknaan hidup, melupakan bahwa seharusnya apa yang kita kerjakan bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain, melupakan bahwa kita pada hakikatnya diberikan kemampuan untuk dapat membuat hidup orang lain menjadi lebih baik.
Di akhir tulisannya Butet Manurung Menulis: “Seperti kita tahu, setiap orang memiliki ketertarikan, prioritas dan kemampuan sendiri-sendiri. “Jadilah diri sendiri”, sering kali dikumandangkan di mana-mana. Sekali lagi, taruh gadget-mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini. Bayangkan jika suatu hari, di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan baru tersadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita.”
Indeed. Can’t Agree more.